Emak
Rita Achdris 06-02-2006
nenek.jpgPUKUL 02.09. Baru satu jam mataku memejam. Namun, aku harus
terjaga oleh dering ponsel. Sebuah pesan singkat menyala di layar. Dari
Kakak.
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, Mak Aum telah diambil.
Aku terhenyak, tapi hanya sejenak. Saat itu telah tiba. Semua sudah
menduga. Ajal telah mengincar sejak dokter menyatakan tubuh Emak
digerogoti kanker rahim enam bulan silam.
Semua orang akan menghadapi maut, batinku. Kutarik lagi selimut sembari
mengatupkan kelopak mata.
Aku ingin tidur barang satu-dua jam lagi sebelum menimbang-nimbang apa
yang mesti kuperbuat.
Pikiranku masih berkejaran dengan tumpukan pekerjaan kantor yang
menyebabkanku selalu pulang larut malam.
Tetapi diam-diam bayangan Emak membenam dalam benak. Bantalku kuyup.
Mataku seketika memata air dalam senyap.
Tak sesuatu mampu membendung.
Wajah Emak berkelebatan. Terkadang sedang tersenyum, sesekali tertawa
cekikikan sambil menyembunyikan giginya yang keropos.
Emak sering tertawa tiba-tiba tanpa alasan yang kupahami. Tak jarang, ia
hanya menertawakan dirinya sendiri yang pelupa.
Tawanya mengeluarkan bunyi ngik ngik yang terdengar lucu, mengguncang
seluruh tubuhnya yang subur.
Sewaktu kecil, Kakak suka menirukan gaya Emak tertawa hingga kami
terpingkal-pingkal.
Di saat lain ia tampak merenggut, atau cemberut. Terutama setelah
mendengar omelan Ibu.
Diam-diam, sambil mengerjakan perintah Ibu, mulutnya sering menggumamkan
bantahan. Tapi tak lama.
Sebab, mereka akan segera bermaaf-maafan. Ibu dan Emak menyadari jika
keduanya sama-sama sudah tua, sama-sama cepat tersinggung.
Namun, kejadian serupa itu selalu seperti roda. Berulang sekian kali
dalam sehari.
Pernah juga Emak menangis. Itulah satu-satunya tangis Emak yang kuingat
sepanjang hidupku.
Iramanya lebih terdengar seperti rengekan bocah kecil yang menginginkan
kembang gula ketimbang derita orang dewasa.
Barangkali, itulah tangis yang ia ketahui. Tangisnya sendiri yang ia
dengar sewaktu kecil. Tangis anak-cucu asuhannya.
Tangis itu kusaksikan Lebaran kemarin, ketika ia terbaring lemah di
ranjang sempitnya. Sosoknya hampir tak kukenali.
Wajahnya kurus tirus. Bola matanya seakan mau loncat dari tempatnya.
Seluruh kulit tubuhnya seperti ditarik bumi, membalut tulang yang kian
tak berdaging.
Aku cepat-cepat menghindar setelah mengecup kedua pipinya. Pemandangan
itu jauh mengiris hati dibanding wajah yang kutemui enam bulan silam.
"Harus dioperasi Nong, soalnya kata dokter sudah besar. Sudah empat
tahun," suara itu masing mendengung di telingaku.
Selain perutnya yang membuncit, tubuh Emak terlihat bugar saat itu.
Wajahnya memang tampak lelah, tapi pipinya masih berisi.
Hanya kedua kakinya saja yang tampak membengkak. Ia juga masih sigap
melayaniku.
Meletakkan air putih dan jajanan dekat dipan tempat aku melepas lelah
setiba di rumah.
Aku merasa enam jam perjalanan bus Jakarta-Garut terlalu menyita tenaga
dan kesabaran.
Lebih buruk dari itu, aku jadi malas pulang. Terkecuali hari itu, ketika
dokter telah menjadwalkan hari operasi Emak.
Katanya, ada tumor yang harus diangkat dari tubuhnya.
Tumor itu tak sengaja ditemukan oleh bidan yang mengurus persalinan
tetangga.
(Emak senang sekali berkunjung ke rumah tetangga di waktu senggang.
Terkadang ia dipanggil hanya untuk mencicipi kue dan teh.)
Kepada bidan, ia mengeluhkan perutnya yang tak mau kempis. Padahal,
belakangan ini ia lebih mengatur asupan makanan supaya
tekanan darah dan gulanya tidak melonjak.
Maklum, meskipun rajin ke Puskesmas dua minggu sekali, Emak anti minum
obat. Baunya membuat ia muntah-muntah.
Terlebih-lebih melihat tablet obat yang ukurannya sebesar kuku ibu jari.
Huekk..
Bidan itu lalu memeriksa perut Emak. Ia menemukan sesuatu yang tak
beres. "Mungkin tumor," katanya.
Ia lantas menganjurkan Emak supaya memeriksakan diri ke dokter di rumah
sakit.
Ibu seperti sudah punya firasat kalau urusan sesuatu dalam perut Emak
akan berbuntut panjang.
Ia serta merta mengurus kartu gakin, semacam asuransi kesehatan keluarga
miskin, untuk Emak.
Tampaknya Ibu sudah berhitung, seluruh perhiasan yang ada dalam cepuk
celengen Emak tak akan cukup menutup biaya pengobatan.
Kalaupun ada bantuan dari kami, jumlahnya tak lebih sekadar untuk
mengongkosi biaya di luar obat dan rumah sakit.
Wajah Emak mengelebat lagi. Apakah ia sempat bahagia? Apakah ia sempat
jatuh cinta? Kutapaki lagi jejak ingatanku.
Ia tak pernah menikah. Tak secuil pun kutemukan keping-keping kisah
cintanya. Apakah karena aku tak pernah mendengar keluh kesahnya?
Sedangkan ia adalah pelampiasan keluh kesah semua orang. Ia adalah tong
sampah penampung segala maki di rumah kami.
Apakah ia pernah bahagia? Pertanyaan itu semakin menghujam kepalaku. Aku
ragu jika ia benar-benar turut berbahagia di saat
anggota keluarga kami merayakan kebahagian. Tengoklah dalam setiap
hajatan perkawinan atau kelahiran yang digelar keluarga besar kami.
Berbagai perayaan itu hanya berarti imbuhan beban baginya. Tambahan
kerepotan, daftar permintaan, pelayanan, dan bukan tidak mungkin:
cacian.
Barangkali, semua itu ditaruh di pundaknya karena Emak seolah tak
berubah. Ia tak pernah absen mengecat rambut hingga usia sejatinya
tersamar.
(Bahkan, dalam KTP, kartu tanda penduduk, ia menebak-nebak sendiri
umurnya.) Sudah pasti tubuhnya yang dimakan usia tak lagi sekokoh dulu.
Tekanan darahnya hampir selalu naik sehabis hajatan. Hari bahagia itu
menghadiahi mual dan pening berhari-hari padanya.
Sementara kami berhaha-hihi, ia seperti perkakas yang berjalan sendiri
atas sampah dan piring-piring kotor yang kami buat.
Kejadian itu kembali, dan kembali lagi.
Umur yang tertulis dalam KTP Emak tak pernah beranjak dari 50 tahun.
Angka itu cuma bergeser sedikit dari KTP Emak yang kubaca
ketika aku di sekolah dasar. Padahal, sudah 20 tahun aku meninggalkan
bangku SD. Mungkin ia hanya malas menghitung.
Ia seperti sengaja menghindari hal-hal rumit. Entah kenapa, kerumitan
sedikit saja bisa memompa tekanan darahnya.
Kukira, Emak juga malas belajar hingga tak bisa membaca. Mungkin, ia
menganggap itu tak berguna.
Ia seperti menerima takaran hidupnya tanpa bantahan. Aku pernah
mengajarinya mengeja ketika pertama kali belajar mengenal aksara.
Bedanya, pada saat aku sudah lancar membaca, ia masih melafalkan huruf.
Ia tak kunjung mampu merangkaikan aksara-aksara
itu menjadi suku kata, kata, dan kalimat.
Dolanan guru-guruan itu pun dimainkan ketiga keponakanku sewaktu mereka
mulai belajar membaca.
Mereka berlagak seperti guru di depan kelas, dan Emak berpura-pura
menjadi muridnya.
Emak seolah-olah mendengarkan sambil mengangguk-angguk. "A, be, ce, de,"
katanya.
Mulutnya menggumam mengikuti tongkat penunjuk di papan tulis.
Pertunjukan itu seperti memutar jarum jam ketika aku kelas 1 SD.
Namun, Emak tetap tak bisa membaca.
Usia Emak masih teka-teki, bahkan hingga ia dirawat menjelang operasi.
"Ah, tak mungkin 50. Pasti lebih," ujar seorang perawat.
Seperti Emak, kami juga hanya bisa mengira-ngira. Sebab, keterangan
lahirnya tanpa akta.
Emak tak tahu kapan dilahirkan. Namun, ia tak pernah lupa peristiwa yang
terjadi ketika usianya menginjak tujuh tahun.
Peristiwa itulah yang merenggut misahkannya dari Mak Amah, ibunya,
sekaligus ketiga saudaranya.
Kenangan itu seperti terpatri dalam ingatannya.
Gelap telah turun sempurna malam itu. Lampu minyak telah pula
dinyalakan.
Tetapi, cahaya terang tiba-tiba menerobos dari lubang-lubang bilik bambu
dan jendela. Bau kayu terbakar mulai merebak di udara.
"Lumbung kita terbakar!" ujar Mak Amah, "Ayo kita lihat!"
Mak Amah bergegas menggendong Erum, Emak kecil, dan menuntun kakak Erum
menerobos gulita.
Kedua saudara Erum lainnya menunggu di rumah. Langkah mereka
tergesa-gesa menyibak dedaunan, menginjak ranting kering.
Tanpa dinyana, tiba-tiba. Dor dor dor dor dor!! Berondongan peluru
menembus tubuh Mak Amah. Dekapan Erum terlepas.
Tubuhnya tercebur ke payau. Mak Amah roboh mencium tanah. Kakak sulung
Erum terkapar bersimbah darah.
Emak tak ingat lagi kejadian selebihnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada
di rumah sakit Tasikmalaya ketika terbangun pagi harinya. Ia selamat.
Tetapi kakak dan ibunya telah menghembuskan nafas penghabisan dalam
perjalanan ke rumah sakit. "Nong, Belanda menyangka Mak Amah membawa
bedil," tutur Emak, yang selalu menyebut masa itu sebagai musim perang.
Kejadian itu terus membekas dalam ingatan Emak hingga aku menginjak SD.
Emak masih sering bersembunyi di kolong ranjang setiap mendengar bunyi
sirene (Emak menyebutnya bunyi hiung), atau pesawat terbang yang lewat.
Bukan tak jarang ia terkencing-kencing di lantai. Setelah senyap, dengan
tangan masih gemetar, ia akan meneguk bergelas-gelas air putih.
Sepeninggal Mak Amah, Erum tinggal di tangsi dengan tentara Belanda.
Itulah pengalaman masa kecil yang seperti tak pernah bosan-bosannya ia
ceritakan. Ia tak ketinggalan memperlihatkan "cendera mata" kulit yang
sedikit menjorok bekas operasi di betisnya. "Waktu itu kaki Emak
bisulan," katanya sambil mengelus-elus betis.
Aku bisa membayangkan, pastilah Erum bocah cilik yang lucu. Kulitnya
kuning bersih. Rambutnya ikal. Ingatan tua Emak masih mencatat satu-dua
kata Bahasa Belanda yang pernah ia dengar ketika itu. "Komen hier, komen
hier!" katanya, menirukan cara tentara Belanda memanggilnya. Ia juga
hapal beberapa lagu Belanda. Jika Emak menggoda kami dengan makanan yang
baru matang, ia tersenyum sambil unjuk jempol, "Lekker!"
Hans adalah nama tentara yang paling sering ia sebut. Kalau sudah
menceritakan dia, senyum Emak selalu melebar, memperlihatkan
gigi-giginya yang ompong. Gigi Emak memang rapuh. Selain sewaktu muda
doyan makanan asam dan pedas, ia malas mandi dan menggosok gigi.
Belakangan, Emak mengganti semua giginya dengan gigi palsu. Ia tak lagi
harus menutup mulut dengan tangan, atau merapatkan dua pucuk bibirnya
kalau tersenyum. Begitu pula ketika ia menceritakan Hans. Kisah usang
yang diulang-ulang bagiku, tetapi tidak untuk ketiga keponakanku.
"Waktu Emak kecil, Hans suka memberi coklat dan keju," tuturnya. Matanya
berbinar-binar. "Komen hier, komen hier!" katanya lagi, berulang-ulang.
***
Meskipun perut Emak sudah dibedah, dokter tak jadi mengambil tumor di
dalamnya. Ia tak banyak berkata-kata. "Harus dibiopsi dulu untuk
memastikan kankernya," ujarnya, seraya memberi rujukan agar Emak segera
dibawa ke Bandung.
Namun, perawat yang menyertai dokter bedah itu mengatakan, ada daging
sebesar mangkuk dalam perut Emak. "Sepertinya kanker rahim," ujarnya.
"Biasanya sisa umurnya tak lebih dari setahun," ia menambahkan.
Kakak marah. Ia menganggap ramalan perawat itu sok tahu. Tapi, dari
pesan singkat yang dikirim ke ponselku, aku tahu kakak cemas. Begitu pun
aku, yang separuh yakin dengan khayalan perawat itu. Lebih dari itu, aku
marah pada dokter yang telah melukai perut Emak tanpa mengukur
kemampuannya! Aku gemas. Namun hanya mampu menangis tanpa daya.
Emak terbaring dengan perut berbalut kain gurita sewaktu aku menjenguk.
Wajahnya tampak kuatir ketika Kakak mengabari bahwa besok ia akan dibawa
ke Bandung.
"Ke Bandung, Yuli?" katanya lemah, kerutan di dahinya seperti remasan
lembar buku tulis bergaris.
"Hmm, Aum mau sehat, bukan?" kakak merajuk.
Esok paginya, mobil ambulans membawa Emak bersama Kakak dan Bibi ke
Bandung. Aku sempat menyuapinya beberapa sendok bubur nasi sebelum
kembali ke Jakarta untuk bekerja. Siangnya aku mendapat kabar kalau Emak
tak bisa masuk RS Hasan Sadikin. Katanya, semua ruangan penuh. Jadi,
sambil menunggu jadwal masuk rumah sakit, Emak dan bibi menyewa sebuah
kamar dekat rumah sakit.
Aku sedikit lega. Tapi, pesan lain seperti menombak dadaku malam
harinya. "Jahitan Aum pecah!" katanya. Darah segar menyembur dari
perutnya. Kakak membopong Emak ke unit gawat darurat. Kemejanya
bersimbah darah. Kini Emak tak harus menunggu giliran kamar kosong lebih
lama lagi. Tujuh dokter spesialis langsung menanganinya.
Sekalipun masa perawatan di Bandung lebih lama, Emak tak jadi
dikemoterapi. Kanker itu dibiarkan tumbuh dalam tubuhnya. Dokter angkat
tangan.
"Usianya sudah tak memungkinkan. Itu akan sangat menyakitkan. Kalau
dipaksakan, harapan hidupnya semakin tipis," kata Ibu, "kita tinggal
pasrah."
Meskipun begitu, wajah Emak terlihat berseri-seri ketika dokter
membolehkannya pulang. Ia seperti menemukan kehidupannya yang hilang
sewaktu kembali ke kamarnya di rumah. Kakak bilang, harapan hidupnya
sangat tinggi.
Ketika itu usia Emak sudah tak lagi teka-teki. Tanpa sengaja, Ibu
menemukan surat-surat tua dalam lemarinya.
Surat itu diteken oleh Wedana Tasikmalaya pada 1949. Bunyinya: Erum
Rukmini, 7 tahun, diserahkan kepada Babu Onih,
karena belum ditemukan ahli warisnya sampai saat ini.
Onih dan suaminya adalah pelayan di tangsi. Surat itu diberikan padanya
karena pasukan Hans kembali ke Belanda.
Karena ditinggalkan oleh tuannya, mereka pun pulang ke kampung
halamannya di Garut. Dialah yang kemudian membesarkan Erum.
"Kalau melihat tahunnya, Belanda yang merawat Aum pergi setelah mengakui
kedaulatan RIS, Republik Indonesia Serikat," kata Ibu.
"Berarti, setelah Perjanjian Konferensi Meja Bundar diteken."
Sayang, entah lupa atau memang dilupakan, aku tak pernah mendengar Emak
mengisahkan saat-saat perpisahannya dengan Hans.
Surat keterangan Erum itu jatuh ke tangan Ibu 48 tahun silam. Kala itu
Ibu masih menjadi guru SD.
Selepas melahirkan anak kedua, ia minta dicarikan pengasuh kepada orang
tua murid di sekolah tempat ia mengajar.
Lalu, salah seorang dari mereka membawa Emak pada Ibu. Umur Emak baru 15
tahun saat itu.
Karena lidah kecil kami belum sempurna, kami lantas memanggilnya Aum.
Selama itu, Emak tidak terus menerus mukim bersama kami. Beberapa kali
ia keluar dan bekerja dengan keluarga lain.
Anehnya, kata Ibu, Emak selalu kembali pada saat dibutuhkan. "Sedang
repot-repotnya, eh, tiba-tiba muncul.
Padahal, hari itu cuti Ibu habis setelah melahirkanmu," ujar Ibu.
Aku adalah anak ketujuh. Hanya kakak nomor satu dan enam yang tak sempat
diasuh Emak ketika bayi. Emak juga mengasuh ketiga keponakanku.
Sejak itulah nama panggilannya didahului kata Emak. Namun, satu per satu
dari kami meninggalkan rumah begitu menginjak dewasa.
Kemandirian yang diajarkan Ibu membuatnya gagal membujuk kami untuk
tinggal bersamanya.
Emak serta merta menjadi tangan kanan Ibu setelah Ayah meninggal. Aku
tahu, di antara kami, Ibulah yang paling kehilangan Emak saat ini.
Wajah Emak mengelebat lagi.
Kriiiing. Telepon dari Kakak.
"Bisa pulang?"
"Ya."
"Kapan?"
"Sekarang."
Thursday, August 24, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment